Ketika mendengar kata fraud, sebagian besar orang langsung mengaitkannya dengan rekayasa laporan keuangan atau manipulasi akuntansi. Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru, namun juga tidak sepenuhnya benar. Faktanya, fraud merupakan fenomena kompleks yang melibatkan perilaku menyimpang, penyalahgunaan kekuasaan, dan kelemahan sistem pengendalian — tidak terbatas hanya pada ranah akuntansi atau keuangan.
Di tengah meningkatnya kesadaran akan pentingnya tata kelola yang baik (good governance), memahami konsep fraud secara menyeluruh menjadi sangat penting. Inilah yang menjadi perhatian utama Lembaga Pengembangan Fraud Auditing (LPFA): memperluas perspektif publik, profesional, dan institusi terhadap fraud sebagai masalah lintas bidang dan multidimensional.
Apa Itu Fraud?
Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), fraud adalah “segala tindakan tidak jujur dan melanggar hukum yang dilakukan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan yang tidak semestinya.” Fraud melibatkan tiga elemen utama, dikenal sebagai Fraud Triangle: tekanan (pressure), peluang (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization).
Namun lebih jauh dari itu, fraud juga mencerminkan dinamika kekuasaan, integritas individu, serta kekuatan dan kelemahan sistem organisasi.
Bentuk-Bentuk Fraud yang Sering Terlupakan
- Fraud Operasional
Penyalahgunaan aset, manipulasi inventaris, dan pemalsuan dokumen proyek sering terjadi di luar lingkup akuntansi tetapi berdampak besar pada efisiensi organisasi. - Fraud Pengadaan Barang dan Jasa
Kolusi antara vendor dan internal staff, mark-up harga, hingga ghost procurement merupakan bentuk fraud yang kerap terjadi di sektor publik dan swasta. - Fraud dalam Teknologi Informasi
Modifikasi sistem, penyalahgunaan akses, hingga pemrograman backdoor dapat menjadi bentuk kecurangan yang tidak terdeteksi jika audit hanya berfokus pada angka. - Abuse of Authority
Ketika kekuasaan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, seperti nepotisme, penyalahgunaan anggaran, atau gratifikasi, ini juga merupakan bagian dari fraud yang bersifat struktural.
Mengapa Fraud Bukan Sekadar Masalah Akuntansi?
Fraud menyasar kelemahan dalam sistem organisasi — bukan hanya angka. Dalam banyak kasus, fraud justru berakar dari:
- Kultur organisasi yang permisif terhadap pelanggaran etika
- Sistem pengendalian internal yang lemah atau tidak dijalankan dengan konsisten
- Kurangnya pemahaman dan pelatihan tentang red flag atau sinyal bahaya fraud
- Ketidakseimbangan kekuasaan tanpa mekanisme pengawasan yang memadai
Artinya, auditor dan risk officer perlu memiliki pendekatan yang lebih luas, melampaui uji dokumen keuangan. Mereka dituntut memahami perilaku manusia, alur kerja organisasi, dan teknologi yang digunakan.
Peran Strategis Fraud Auditing
Fraud auditing tidak hanya mencari bukti kecurangan, tetapi juga menganalisis risiko fraud secara proaktif, menilai integritas sistem organisasi, dan mendorong pembentukan budaya anti-fraud.
Sebagai lembaga yang fokus dalam pengembangan kompetensi di bidang ini, LPFA mengajak seluruh pihak — baik profesional keuangan, auditor, manajemen risiko, hingga pembuat kebijakan — untuk memahami bahwa fraud bukan hanya soal laporan keuangan yang salah, tapi tentang sistem yang lemah, manusia yang tergoda, dan pengawasan yang lalai.
Dengan memperluas pemahaman mengenai fraud, organisasi dapat meningkatkan kewaspadaan, memperkuat sistem pengendalian, dan membangun kultur kerja yang sehat. LPFA berkomitmen menjadi mitra dalam proses ini — melalui pelatihan, riset, sertifikasi, dan pengembangan kapasitas di bidang fraud auditing secara menyeluruh.
LPFA | Membangun Integritas, Mendeteksi Kecurangan, Meningkatkan Ketahanan Organisasi
–end–
Referensi:
-
ACFE, Report to the Nations, 2024
-
COSO & ACFE, Fraud Risk Management Guide, 2016
-
Wells, J.T., Corporate Fraud Handbook, 5th Ed.
-
ISA 240 – Auditor’s Responsibilities Relating to Fraud
-
OECD, Fraud and Corruption in Public Procurement, 2020
-
KPMG, Profiles of the Fraudster, 2023