Memahami Cara Kerja Alat Pendeteksi Kebohongan (Poligraf) – Analisis Forensik Penggunaan Alat Deteksi Kebohongan

Upcoming Events

Memahami Cara Kerja Alat Pendeteksi Kebohongan (Poligraf)

Analisis Forensik Penggunaan Alat Deteksi Kebohongan

Oleh: Nurharyanto

 

 

Pendahuluan

Media masa dan media sosial masih terus membahas mengenai tingkat keakuratan dan kepercayaan atas penggunaan hasil pengujian kebohongan menggunakan alat uji kebohongan (lie detector) atau yang dikenal dengan nama poligraf untuk para pelaku dan/atau yang diduga terlibat dalam rencana pembunuhan sesama anggota polisi, yang diduga didalangi oleh Pimpinannya.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas mengenai proses persidangan di Pengadilan yang sedang berjalan atas kasus tersebut dan juga tidak membahas apapun putusan pengadilan yang akan dijatuhkan oleh majelis hakim nantinya.  Tulisan ini hanya ingin lebih mengendepankan nilai edukasi mengenai tujuan, fungsi dan manfaat penggunaan  alat pendeteksi kebohongan dan bagaimana kita memahami kenapa para pelaku dan/atau mereka yang diduga terlibat dalam suatu tindakan kecurangan (fraud) diminta untuk mengikuti tes kebohongan guna meyakinkan bahwa informasi/ keterangan yang mereka berikan telah menyatakan hal yang sebenarnya atau tidak.

Kepala Urusan Bidang Komputer Forensik Ahli Poligraf Aji Febriyanto Arrosyid yang menjadi saksi dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 14 Desember 2022. Dalam kesaksiannya, Aji menyatakan melakukan pemeriksaan terhadap para terdakwa pembunuhan Yosua. Hasilnya, Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi diindikasikan berbohong. “Bapak Ferdy Sambo nilai totalnya -8, Putri -25. Kuat Ma’ruf dua kali pemeriksaan, yang pertama hasilnya +9 dan kedua -13, Ricky dua kali juga pertama +11, kedua +19, Richard +13,” kata Aji. Aji menjelaskan jika skor plus menunjukkan hasil jujur, sedangkan minus menandakan jika terperiksa berbohong.
Hakim pun menegaskan soal nilai-nilai tersebut. “Kalau Sambo terindikasinya apa?” kata hakim mencecar. “Minus, terindikasi berbohong. Kalau PC terindikasi berbohong. Kalau Kuat, jujur dan terindikasi berbohong,” ungkap Aji.

Sumber : TEMPO.CO, Jakarta – 14 Desember 2022

 

Dengan hanya melihat tampilan secara fisik tidak mungkin kita mengetahui apakah seseorang mengatakan hal yang sebenarnya apa yang diketahui, didengar, dilihat dan dirasakan dengan panca indera-nya kecuali ada bukti yang mendukung dan menguatkannya.  Lalu bagaimana cara kerja alat pendeteksi kebohongan sesungguhnya?

Landasan Ke-ilmuan Penggunaan Alat Pendeteksi Kebohongan

Alat deteksi kebohongan merupakan instrumen yang dirancang untuk memeriksa tanda-tanda fisik secara spesifik (khusus) ketika seseorang diminta untuk menjawab suatu pertanyaan tertentu yang diajukan oleh investigator. Tanda-tanda spesifik akan merujuk pada suatu dukungan secara ilmiah apakah jawaban atas pertanyaan yang diajukan telah dijawab dengan  benar atau tidak atau bahkan jawaban yang diberikan berupa suatu skenario kebohongan. Perubahan secara fisiologis pada seseorang yang sengaja berbohong dapat dibedakan oleh investigator menggunakan alat uji kebohongan ini. Alat uji kebohongan tidak selalu menunjukkan hal secara akurat, oleh  karenanya hasilnya tidak dapat begitu saja dianggap sebagai bukti konklusif saat digunakan untuk membuat seseorang mengakui perbuatannya.

Secara sederhana, pendeteksi kebohongan berupa mesin poligraf yang dapat mendeteksi dan merekam berbagai fenomena fisiologis atau tanda-tanda spesifik seperti denyut nadi, tekanan darah, pernapasan, dll. Melalui bantuan atas tanda-tanda spesifik yang dicatat, kesimpulannya dibuat atas jawaban yang diberikan oleh para pihak ketika pertanyaan diajukan kepadanya.

Alat uji kebohongan merupakan penemuan William Moulton Marston seorang psikolog Amerika yang menemukan prototipe pertama bersama Elizabeth Holloway, istrinya di tahun 1920-an. Dalam konteks yang sama, John A. Larson, seorang ahli fisiologi menciptakan prototipe kerja poligraf pada tahun 1921. John A. Larson seorang polisi di California melakukam pengamatan dan mencatat perubahan terus menerus pada tekanan darah dan pola pernapasan saat seseorang sedang berbohong. John Larson merupakan seorang kriminolog pemula dengan gelar Ph.D. dalam ilmu fisiologi, Larson ingin menjadikan Investigasi yang dilakukan oleh polisi dapat digunakan secara lebih ilmiah dan tidak terlalu bergantung pada naluri, insting dan informasi yang diperoleh dari interogasi dengan pendekatan ancaman atau “psikologi – tingkat ketiga”. Larson kemudian merancang perangkat untuk mendeteksi indikasi kecurangan (fraud) terhadap setiap jawaban yang diberikan oleh individu-individu yang sedang diuji (diinvestigasi).  Larson sangat percaya bahwa tindakan kecurangan (fraud) akan diikuti dan berkorelasi dengan adanya pemberitahuan perubahan fisik. Berbohong, dalam pikirannya akan, membuat orang gugup, yang bisa dikenali dari perubahan pola pernapasan dan tekanan darah. Mengukur perubahan pola pernafasan dan tekanan darah secara real-time akan dapat berfungsi sebagai proksi yang andal untuk menemukan adanya kebohongan. Guna menyempurnakan teknologi yang dikembangkan, Larson menciptakan perangkat yang secara bersamaan mencatat perubahan pola pernapasan, tekanan darah, dan denyut nadi. Perangkat dengan nama poligraf ini kemudian disempurnakan lebih lanjut oleh rekannya yang lebih muda, Leonarde Keeler, alat deteksi kebohongan ini membuat hasilnya menjadi lebih cepat, lebih andal, dan dibuat dalam bentuk portable sehingga dapat digunakan secara mobile.

Tes Poligraf untuk Mendeteksi Kebohongan – Apakah Hasil Kerja Alat Pendeteksi Kebohongan Akurat?

Sangat sulit untuk mengambil kesimpulan atas pertanyaan tersebut, karena respons terhadap tes poligraf bervariasi antara satu orang dengan yang lainnya. Terlepas dari keragamannya, pengguna hasil poligraf bisa mendapatkan laporan konklusif yang mungkin mengarahkan hasil investigasi untuk mendapatkan dukungan terhadap bukti yang baru dan lebih menguatkan. Berdasarkan mekanisme tes deteksi kebohongan poligraf dirancang untuk memeriksa organ spesifik seseorang. Logika dari semua model yang digunakan sampai saat ini adalah sama. Perangkat ini membantu untuk memantau perubahan mendadak sekecil apa pun yang terjadi pada organ spesifik tersebut pada saat seseorang berbohong.

Ilustrasi cara kerja alat pendeteksi kebohongan.

Bayangkan kembali atas peristiwa/kejadian pada waktu kita masih kecil atau pada waktu remaja; suatu saat secara diam-diam kita menghampiri lemari es (kulkas) di rumah, kemudian kita mengambil es krim vanilla yang ada didalamnya dan memakannya secara diam-diam. Kegiatan menyelinap ini kemudian diketahui anggota keluarga yang lainnya apakah adik atau kakak kita. Ketika ibu juga mengetahui es krim yang ada didalam kulkas sudah tidak ada lagi atau berkurang jumlahnya. Saat ibu bertanya, tiba-tiba kita mulai merasa takut. Detak jantung secara otomatis akan berdetak lebih cepat dan meningkat selama proses interogasi yang diajukan oleh ibu. Kita akan mengalami kesulitan berbohong kepada ibu. Situasi stres ini akan menyebabkan perubahan mendadak pada anggota tubuh kita yang lainnya. Bahkan jika kita berhasil berbohong sekalipun, perubahan spesifik rekayasa kebohongan kita akan menghasilkan sebuah kisah/versi cerita hasil kebohongan yang berbeda. Seperti inilah cara kerja tes poligraf bekerja. Napas yang berat, degub jantung yang lebih cepat, perubahan ekspresi muka dan keringat dingin akan direkam oleh perangkat, dan investigator akan mengerti bahwa Kita sedang menyembunyikan sesuatu.

Kebenaran Alat uji Kebohongan yang Masih Dapat Diperdebatkan

Alat uji pendeteksi kebohongan secara teknis akan mampu mendeteksi perubahan spesifik dalam tubuh seseorang, namun demikian hasilnya sangat dimungkinkan tidak bersifat konklusif. Intensitas hasil poligraf sangat bervariasi antara satu orang dengan orang yang lain. Analisis deteksi dilakukan berdasarkan grafik abnormal yang diperoleh dan digambarkan pada kertas kerja pengujian. Investigator mengetahui grafik atau hasil normal, dan bisa mendeteksi ada beberapa perubahan pada denyut nadi, irama detak jantung, laju pernapasan, tekanan darah, dll. Masalahnya adalah; ketika seseorang diinterogasi, otomatis dia menjadi cemas. Dia merasa takut bahwa jawabannya akan membuat dia atau seseorang dalam kesulitan. Di sinilah hasil uji secara spesifik dapat menunjukkan beberapa hasil yang dihasilkan bisa salah bahkan ketika orang tersebut sebenarnya tidak berbohong sama sekali. Kita juga mungkin pernah merasa bingung ketika guru bertanya tentang sesuatu tugas yang tidak kita kerjakan, tetapi teman-teman yang lain sudah melakukannya. Bayangkan pada saat kita mencoba untuk menjawab quiz atau test dengan mencontek tindakan yang dilakukan oleh teman kita yang sesungguhnya kita sendiri belum pernah melakukan, sehingga secara otomatis poligraf akan bingung dan akan memberikan keluaran hasil (output) yang tidak dianggap normal oleh poligraf.

Pertanyaannya adalah; kenapa tes ini digunakan oleh pembuat undang-undang dan digunakan sebagai dukungan pembuktian untuk kasus-kasus kejahatan yang sulit pembuktiannya? Seorang Investigator harus dapat meminimalkan dampak atas kemungkinan kesalahan pengambilan kesimpulan pada seseorang yang diduga berbuat dan/atau mengetahui perbuatan kecurangan (fraud), khususnya respon konklusif terhadap masing-masing individu secara spesifik. Tes deteksi kebohongan kemungkinan besar tidak menunjukkan hasil yang akurat karena tidak memiliki kerangka acuan standar atau solid untuk dibanding-bandingkan hasilnya.

Kebenaran Menemukan Jalannya Sendiri

Kita semua telah belajar bahwa hasil tes kebohongan mungkin tidak akurat. Sehingga, tes poligraf harus dianggap sebagai tambahan petunjuk, bukan satu-satunya bukti. Keakuratan hasil masih bisa diperdebatkan tetapi majelis hakim dipersidangan bisa mendapatkan tambahan petunjuk atas hasil tes poligraf yang dilakukan. Misalnya, seseorang dimintai keterangan mengenai lokasi pelaku kejahatan berada. Orang tersebut mungkin akan membohongi investigator melalui jawaban yang diberikannya, tetapi ia sendiri tidak akan bisa menyembunyikan tanda spesifik sebagai manusia atas kelemahannya pada saat ia melakukan kebohongan. Kita sebagai manusia secara umum tidak pandai memahami perubahan fisiologis dalam keadaan yang menantang, tersudut atau kondisi terdesak. Alat pendeteksi kebohongan akan dapat membantu untuk memberikan sebuah panduan ketika kasus yang ditangani tidak menunjukkan fakta atau bukti yang akan dipergunakan untuk memperkuat tuduhan. Para Profesional yang menggunakan alat tes deteksi kebohongan selalu berupaya untuk menemukan sesuatu hasil pengujian yang tidak normal dan mengembangkan hasil Investigasinya sesuai dengan petunjuk yang diperoleh, jadi seperti inilah cara alat pendeteksi kebohongan digunakan dalam kehidupan nyata.

Mengapa Poligraf Tidak Dapat Diterima pada Sebagian Besar Proses Persidangan di Pengadilan

Dalam suatu proses pembuktian di Persidangan jaksa penuntut mengharapkan bahwa hasil pengujian kebohongan akan benar-benar bekerja sesuai skenario tuntutan yang diajukan, sehingga penuntut akan jauh lebih mudah jika dipersidangan mereka dihadapkan pada dua versi kontradiktif dari satu peristiwa, ada sebuah alat yang bisa mengidentifikasi pihak mana yang mengatakan kebenaran. Itulah tujuan yang ingin dilakukan oleh para inovator poligraf modern—tetapi komunitas ilmiah meragukan poligraf, dan hampir di sebagian besar belahan dunia, poligraf tetap kontroversial. Bahkan penemunya sendiri khawatir dengan istilah yang digunakan “Alat uji kebohongan”.

Dalam bentuknya yang sekarang, tes poligraf menggunakan metode mengukur perubahan pernapasan, keringat, dan detak jantung. Sensor diikat ke jari, lengan, dan dada pihak yang diuji; untuk merekam reaksi secara real-time pada saat permintaan keterangan/interogasi dilakukan. Suatu lonjakan pada parameter alat ukur akan menunjukkan tingkat kegugupan, yang berpotensi menunjukkan dukungan atas suatu kebohongan.

Untuk dapat meminimalkan adanya kemungkinan atas kesimpulan ‘’kesalahan positif” maka pengujian akan lebih banyak pada “pertanyaan terkendali”.

Dalam suatu Investigasi insiden pembunuhan misalnya, seorang tersangka mungkin ditanyai pertanyaan yang relevan seperti, “Apakah Kita mengenal korban?” atau “Apakah Kita melihatnya pada malam pembunuhan itu?” Tetapi tersangka juga akan ditanyai pertanyaan pengendalian yang memicu stres tentang suatu kesalahan umum yang bisa dilakukan oleh seseorang, misalnya: “Apakah Saudara pernah mengambil sesuatu milik orang lain secara tidak sah ?” atau “Apakah saudara pernah berbohong kepada teman-teman Saudara?” Tujuan dari pertanyaan pengendalian diajukan adalah agar membuat subyek yang tidak bersalah akan menjadi cemas (siapa sih yang tidak pernah bohong kepada teman?). Sedangkan subyek yang bersalah ia akan cenderung lebih khawatir ketika menjawab pertanyaan yang sebenarnya ia perbuat yang relevan dengan tindakannya. Perbedaan inilah yang diamati dan disimpulan dengan tes poligraf.

Suatu diagnosis atas kecurangan (fraud) tidak selalu berarti bahwa seseorang benar-benar untuk berbohong. Tes poligraf sebenarnya tidak mendeteksi kecurangan (fraud) secara langsung; tetapi hanya menunjukkan tingkat stres, oleh karena itu Larson berjuang keras agar alat ujinya tidak dikategorikan sebagai “pendeteksi kebohongan”. Penguji memiliki berbagai cara untuk menyimpulkan kecurangan (fraud) – seperti dengan menggunakan pertanyaan pengendalian-, tetapi, menurut American Psychological Association, proses inferensi “terstruktur, tetapi tidak standar” dan tidak boleh disebut sebagai “deteksi kebohongan”. Jadi, validitas hasil tetap menjadi bahan perdebatan. Bergantung pada siapa Kita bertanya, keandalan tes berkisar dari hampir pasti pada pilihan probabilitas suatu lemparan koin. The American Polygraph Association mengklaim bahwa alat tes ini memiliki tingkat akurasi hampir 90 persen. Sementara banyak psikolog — dan bahkan beberapa aparat penegak hukum — berpendapat bahwa tes tersebut bias dalam menemukan tingkat kebohongan dan hanya memiliki peluang 50 persen untuk mendapatkan hasil suatu kesimpulan ‘kesalahan positif palsu’.

Kenapa Alat Deteksi Kebohongan Tidak Dianggap Seakurat Dengan Sidik Jari atau Tes DNA?

Sebagian besar negara/yuridiksi secara umum masih bersikap skeptis tentang penggunaan tes poligraf sebagai alat pembuktian kasus-kasus kecurangan (fraud), hanya sedikit yang memasukkannya ke dalam sistem hokum Pidananya. Namun demikan tes ini tetap paling populer di Amerika Serikat , dan banyak Unit organisasi Kepolisian mengandalkannya untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka. Selama bertahun-tahun, Mahkamah Agung AS telah mengeluarkan banyak putusan mengenai pertanyaan apakah tes poligraf harus diterima sebagai bukti dalam persidangan pidana. Sebelum penemuan Larson, pengadilan mencurigai tes deteksi kebohongan. Dalam kasus tahun 1922, seorang hakim melarang hasil pendeteksi kebohongan pra-poligraf untuk digunakan di persidangan, karena khawatir bahwa tes tersebut, meskipun tidak dapat diandalkan, dapat mempengaruhi pendapat hakim secara tidak beralasan. Pada tahun 1935 hasil poligrafnya mendapatkan keyakinan dalam persidangan pembunuhan melalui kesepakatan sebelumnya antara pembela dan penuntutan, Keeler—anak didik Larson— menegaskan bahwa “temuan pendeteksi kebohongan dapat diterima di pengadilan seperti kesaksian sidik jari.” Tetapi banyak keputusan pengadilan telah memastikan bahwa ini tidak akan terjadi. Meskipun teknologi poligraf terus meningkat dan proses interogasi menjadi lebih sistematis dan terstandarisasi, para ilmuwan dan pakar hukum masih tetap terbelah dalam menyikapi keakuratan perangkat tersebut.

Putusan Mahkamah Agung AS tahun 1998 menyimpulkan bahwa risiko pengambilan keputusan mengandung positif palsu yang masih terlalu tinggi. Tes poligraf, masih berada pada “aura infalibilitas” ilmiah, meskipun secara fakta “tidak ada konsensus yang menyatakan bahwa poligraf dapat digunakan sebagai alat bukti yang dapat diandalkan,” dan memutuskan bahwa hasil tes mengenai kebohongan tidak dapat dilihat sebagai bukti tidak syah. Sehingga, penggunaan tes bersifat sukarela, dan hasilnya tidak boleh digunakan sebagai bukti yang bersifat konklusif. Yang paling penting: Pengadilan menyerahkan kepada negara bagian untuk memutuskan apakah tes tersebut dapat diajukan ke pengadilan atau tidak. Saat ini, 23 negara bagian mengizinkan tes poligraf untuk diterima sebagai bukti dalam persidangan, dan banyak dari negara bagian tersebut memerlukan persetujuan kedua belah pihak.

Kritik terhadap penggunaan tes poligraf menegaskan bahwa di negara bagian di mana tes tersebut tidak dapat digunakan sebagai bukti, justru para penegak hukum seringkali menggunakan tes poligraf sebagai alat untuk meng-intimidasi, menakut-nakuti dan/atau menggertak tersangka agar memberikan pengakuan yang dapat diterima sesuai keinginan APH.

Terlepas dari kritik — justru saat ini banyak jasa profesi investigator menawarkan untuk mengajari para pihak yang berkepentingan bagaimana cara-nya menyiasati dalam menjawab tes poligraf agar hasilnya sesuai dengan yang kita inginkan—poligraf masih digunakan secara luas di Amerika Serikat, dan sebagian besar digunakan dalam proses seleksi untuk pelamar pekerjaan dan untuk screening keamanan/kesetiaan terhadap negara.

-end-

 

Referensi:

  1. Polygraph Tests: The Process, Accuracy, and Cases https://study.com/learn/lesson/polygraph-test-process-accuracy-cases.html
  1. The Integration of Forensic Accounting and the Management Control System as Tools for Combating Cyberfraud, Oluwatoyin Esther Akinbowale, Prof. Heinz Eckart Klingelhöfer, Mulatu Fekadu Zerihun Tshwane University of Technology
  1. Ferdy Sambo Cs Jalani 3 Tahapan dalam Tes Kebohongan, Ini Penjelasannya https://nasional.tempo.co/read/1668118/
  1. Verbal Deception and the Model Statement as a Lie Detection Tool https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyt.2018.00492/full